KAJIAN TAFSIR SURAT AL-A’LA

maxresdefaultSurat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, dan diturunkan sesudah surat At Takwiir. Nama Al A´laa diambil dari kata Al A´laa yang terdapat pada ayat pertama, berarti Yang Paling Tinggi. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Al Jumu’ah, dan diriwayatkan pula oleh Ashhaabus Sunan, dari Nu’man ibnu Basyir bahwa Rasulullah s.a.w. pada shalat dua hari Raya (Fitri dan Adha) dan shalat Jum’at membaca surat Al A´laa pada rakaat pertama, dan surat Al Ghaasyiyah pada rakaat kedua.

Pokok-pokok isinya : Perintah Allah untuk bertasbih dengan menyebut nama-Nya. Nabi Muhammad s.a.w. sekali-kali tidak lupa pada ayat-ayat yang dibaca- kan kepadanya. Jalan-jalan yang menjadikan orang sukses hidup dunia dan akhirat. Allah Menciptakan, Menyempurnakan ciptaan-Nya, Menentukan kadar-kadar, Memberi petunjuk dan Melengkapi keperluan- keperluannya sehingga tercapai tujuannya.

Surat Al-A’lâ menurut jumhur mufassirin (ulama tafsir) diturunkan di Makkah setelah Surat At-Takwir. Sebagian ulama ada yang berpendapat surat ini diturunkan di Madinah karena memuat berita tentang Shalat Id dan zakat fitrah. Tapi pendapat ini dilemahkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu Sa’d dan Ibnu Abi Syaibah.

Surat ini sebagaimana surat makkiyah lainnya, masih menekankan aspek akidah dan keimanan, hanya saja isinya sangat umum. Berisi tentang tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah swt serta membicarakan wahyu dan kitab serta suhuf yang diturunkan kepada para nabi. Juga disinggung mengenai nasib yang baik bagi orang yang suka menyucikan dirinya dengan amal kebaikan. Karena tema pesar surat ini adalah tasbih (penyucian). Bahkan diawali dengan sebuah perintah “sabbih” (sucikanlah) Maha Suci Allah dari segala tuduhan yang tidak benar.

Surat al-A’la memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya; disukai oleh Rasulullah saw:

Seperti riwayat Imam Ahmad, al-Bazzar dan Ibnu Marduyah dari riwayat Imam Ali bin Abi Thalib ra. bahwa beliau menyukai surat sabbihisma. Dalam riwayat Abu Ubaid bahkan disebut sebagai afdhalu al-Musabbihat (surat yang diawali dengan tasbih yang paling afdhal).

Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah binti Abi Bakar ra. bahwa dalam shalat witir pada rakaat pertama Rasulullah saw sering membaca surat al-A’la, kemudian pada rakaat kedua membaca al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca al-Ikhlas.

Imam Muslim, Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra. bahwa dalam Shalat dua Id dan Shalat Jum’ah pada rakaat pertama Rasulullah saw sering membaca surat al-A’la dan pada rakaat kedua membaca al-Ghasyiah.

Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Harits beliau berkata: Shalat berjamaah terakhir Rasulullah saw adalah Shalat Maghrib dan pada rakaat pertama beliau membaca al-A’la sedang pada rakaat kedua beliau membaca al-Kafirun.

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.

سَبِّحِ ٱسۡمَ رَبِّكَ ٱلۡأَعۡلَى ١

Sucikanlah Nama Tuhanmu, Yang Mahatinggi,

Sabbaha adalah ‘memuji atau menyucikan’ Tuhan. Kata tersebut berkaitan dengan sabaha, yang berarti ‘berenang, mengalir dengan, mengapung’. Ketundukkan adalah keadaan muslim, yakni keadaan berserah diri kepada Tuhan yang meliputi segala sesuatu. Semakin dia tunduk, semakin dia bergetar dengan energi-energi yang harmonis. Ayat ini berkenaan dengan ‘Nama Tuhan’, yang menunjukkan hakikat Tuhan kita yang tinggi, Entitas yang telah menciptakan kita. Segala sesuatu yang ada berpartisipasi dalam pengagungan yang mengalir bebas dan menggemakan esensi-Nya. Segala sesuatu berasal dari Sang Hakikat, dan menggemakan Realitas Tunggal.

Allah swt. memerintahkan agar kita senantiasa bertasbih kepada-Nya. Ustadz Sayyid Quthhb dalam Ad-Dzilal menjelaskan bahwa ada tiga makna tasbih, yaitu tamjid (mengagungkan), tanzih (membersihkan), dan istihdhar (menghadirkan).

Jadi, wujud tasbih kita pada Allah swt. adalah dengan tamjid yakni mengagungkan-Nya dengan cara melakanakan ajaran-ajaran-Nya, tanzih yaitu membersihkan-Nya dengan cara menjauhkan diri dari berbagai perbuatan syirik, dan istihdhar yakni menghadirkan-Nya dalam fikiran dan persaan kita sehingga kita memiliki perasan selalu ditatap Allah swt.

Dari ayat ini munculnya perintah dari Rosulullah saw, untuk membacanya sebagai bacaan dalam sujud sebagaimana sabdanya ketika turun ayat ini:

اجعلوها فى سجودكم (رواه ابو داود)

Jadikanlah ayat ini untuk sujud kalian” (HR. Abu Dawud)[ Hadits Abu Dawud dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, hal. 466]

Menurut al-Hasan {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} mengandung arti sholatlah dengan Keluhuran Tuhanmu, bukan seperti orang-orang musyrik yang sholat dengan bersiul dan tepuk tangan. Menurut pendapat lain adalah keraskan suaramu untuk mengingat Tuhanmu.[Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Juz 20, hal. 15]

Ayat ini juga berpesan, Sucikanlah nama Tuhan Pemeliharamu Yang Maha Tinggi sehingga apabila terbayang dalam benakmu sesuatu yang tinggi, yakinilah bahwa Rabbuka al-A’la/Tuhanmu lebih tinggi.

 ٱلَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ ٢ وَٱلَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ ٣

Yang menciptakan, lalu menyempumakan. Dan Yang membuat [semua yang ada] sesuai dengan ukuran, lalu menunjuki [mereka pada tujuan mereka].

Ayat di atas merupakan sekelumit penjelasan sekaligus argumentasi tentang kemahatinggian Allah yang disinggung oleh akhir ayat yang lalu. Allah berfirman bahwa: Dia Yang Mahatinggi itu adalah Dia yang menciptakan semua makhluk dan menyempurnakan ciptaan-Nya itu dan Dia tidak sekedar menciptakan dan menyempurnakan, tetapi juga yang menentukan kadar masing-masing serta memberi masing-masing petunjuk sehingga dapat melaksanakan fungsi dan peranan yang dituntut darinya dalam rangka tujuan penciptaannya. [Tafsir Al-Misbah: Jilid 15, hal,234]

قَدَّرَ terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh ulama tafsir. Menurut Imam Mujahid kata قَدَّرَ berhubungan dengan celaka atau beruntung, sedangkan kata هدى berhubungan dengan petunjuk ataukah kesesatan, petunjuk ( هدى ) untuk manusia menurut Imam Mujahid adalah berkaitan dengan beruntung atau celakanya manusia, dan petunjuk bagi hewan adalah berkaitan dengan makanannya.[ Al-Lubab fi Ulum al-Kitab, juz 20 hal. 275] Sedangkan menurut Ibnu Athiyah kata قَدَّرَ adalah penentuan ALLAH Swt, atas segala kemampuan, waktu, kadar, kebaikan, dan kesempurnaannya (makhluk).[ Adlwa’ul Bayan fi Idloh al-Qur’an bi al-Qur’an, Juz. 28 hal. 12] Sedangkan dalam kitab al-Bahrul Madid disebutkan bahwa kata قَدَّرَ mengandung arti takdir ALLAH Swt, Yang ditetapkan di zaman azal kemudian ALLAH Memberikannya petunjuk.[ Al-Bahrul Madid, juz 8 hal. 437] Dan dalam kitab al-Wajiz menerangkan bahwa kata قَدَّرَ adalah mentakdirkan rizkinya kemudian ALLAH Swt, Memberikan petunjuk (هدى) agar ia mencarinya.[ Al-Wajiz li al-Wahidi, Juz 1 hal. 1194]

 وَٱلَّذِيٓ أَخۡرَجَ ٱلۡمَرۡعَىٰ ٤  فَجَعَلَهُۥ غُثَآءً أَحۡوَىٰ ٥

Yang menumbuhkan rerumputan. Lalu menjadikannya kering kehitam-hitaman.

المرعى : menurut Ibnu Abbas sebagaimana yang tercantum dalam kitab Tafsir Siroj Al-Munir adalah rumput yang hijau.[ Tafsir Siroj al-Munir, juz. 4 hal. 380] Dalam kitab al-Wasith المرعى adalah nama tempat yang terdapat tumbuhan.[ Al-Wasith li Sayyid Thantowi, Juz 1, hal. 4487] Lebih rinci lagi disebutkan oleh pengarang kitab al-Lubab bahwa المرعى adalah apa yang dikeluarkan oleh bumi dari jenis tanaman, buah-buahan, biji-bijian, dan rerumputan.[ Al-Lubab fi Ulum al-Kitab, Juz 20, hal. 276] Dalam ayat ini ALLAH Menjelaskan bahwa ALLAH Swt, adalah Dzat Yang Menumbuhkan tanaman-tanaman.

Menurut Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, ayat فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى ditafsirkan dengan هشيما متغيرا (pecah dan berubah dari awal tumbuh). Setelah ALLAH Swt, menumbuhkan rumput yang hijau kemudian menjadi kering. أحوى adalah hitam setelah hijau, hal ini karena rumput itu apabila kering ia akan menghitam.[ Fathul Qadir, Juz 5, hal. 600] Dalam kitab al-Wasith disebutkan bahwa warna itu adalah warna antara hitam dan hijau atau merah. Artinya sesungguhnya ALLAH Swt, Menumbuhkan tumbuhan yang hijau kemuadian Dia Menjadikannya hitam setelah hijau.[ Al-Tashil li Ulum al-Tanzil, juz 1, hal. 2596]

Mar’a berarti ‘padang rumput’. Bahkan perhiasan bumi pun bertasbih, dan itulah sebabnya mengapa padang rumput tumbuh dalam siklus musiman. Dari satu musim ke musim berikutnya, rerumputan berubah dari padang rumput yang hijau dan hidup menjadi jerami yang kering dan berdebu, namun pada setiap fase siklusnya didasarkan pada tasbih.

سَنُقۡرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰٓ ٦ إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ إِنَّهُۥ يَعۡلَمُ ٱلۡجَهۡرَ وَمَا يَخۡفَىٰ ٧

Kami akan membacakan kepada engkau agar engkau tidak akan lupa. Kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui apa yang nampak dan apa yang tersembunyi.

Ayat di atas bahwa Allah akan menghimpun ayat-ayat al-ur’an dalam dada (hati) Nabi Muhammad Saw sehingga Beliau tidak akan melupakannya. Lafadz pengecualian (illa ma sya Allah/kecuali apa yang dikehendaki Allah) ulama mengartikan ada ayat-ayat al-Qur’an yang dikehendaki oleh Allah dilupakan oleh Nabi. Thahir Ibn ‘Asyur menulis bahwa yang dilupakan itu ada dua macam. Yang pertama, terjadi bila Allah menghendaki untuk membatalkan bacaan sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, ayat-ayat yang dilupakan Nabi pada waktu tertentu, kemudian Beliau ingat lagi. [Tafsir al-Misbah:Jilid 15 hal. 247]

وَنُيَسِّرُكَ لِلۡيُسۡرَىٰ ٨

Dan kami akan melancarkan jalanmu ke arah kemudahan.

Kami akan menempatkan manusia pada jalan kemudahan. Yusra yang berarti ‘kemakmuran’, berasal dari yasara yang berarti ‘menjadi mudah’. Ini adalah huda (petunjuk). Jalan kemudahan adalah jalan tanpa hambatan, jalan ketundukkan, dan di atasnya manusia akan menemukan kemudahan pengetahuan. Kesalahan manusia sendirilah jika ia menempatkan dirinya dalam kerugian.

Ibnu Abbas mengartikan ayat ini bahwa ALLAH Swt, Memudahkan untuk berbuat baik, menurut Ibnu Mas’ud yang dimaksud لِلْيُسْرَى adalah surga, dan ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah ALLAH Swt, Memberikan syari’at yang suci, toleran, dan mudah.[ Al-Jamil li Ahkam al-Qur’an, Juz. 20 hal. 19] Menurut Imam Muqotil artinya adalah ALLAH Swti memberikan kemudahan beramal dengan amal ahli surga, ini adalah arti dari ucapan Ibnu Abbas dengan ‘berbuat baik’[Tafsir al-Baghowi, Juz 8 hal. 401]

Dalam kitab Aysir al-Tafasir yang dimaksud dengan ayat ini adalah ALLAH Swt, Memberikan syari’at yang mudah yaitu Islam, atau ALLAH Swt, Memberikan jalan yang mudah dan tidak menyulitkan yang dibangun dengan asas ‘tidak ada kesulitan dalam agama’.[ Aysir al-Tafasir, Juz. 5 hal. 557]

 فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ ٩

Maka berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu berguna.

Dengan cara sama yang dilakukan Rabb (Tuhan) pada seluruh ciptaan-Nya, padang rumput termasuk hal yang ingin manusia ketahui. Itulah tanah penggembalaan kita. Ayat ini mengatakan, “Beri mereka peringatan, karena peringatan itu akan berguna atau menguntungkan mereka.” Orang yang memperingatkan mereka juga ingin melihat hasilnya.

Bisa juga diartikan, “Jika peringatan itu bermanfaat.” Dengan demikian, jika tampaknya tidak bermanfaat, maka tidak perlu memberikan peringatan, terlebih apabila peringatan itu malah membuatnya bertambah melakukan keburukan. Sebagian ulama berkata, “Jika diperkirakan peringatan itu bermanfaat, maka wajib memberi peringatan. Tetapi, jika diperkirakan peringatan itu tidak bermanfaat, maka ia diberi pilihan; jika ia mau; ia memberi peringatan dan jika tidak, maka ia tidak memberi peringatan.” Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Tafsir Juz ‘Amma berkata, “Akan tetapi, bagaimana pun juga kita katakan, “Harus memberi peringatan, meskipun anda mengira bahwa peringatan itu tidak bermanfaat, karena kelak akan bermanfaat bagimu, dan kelak manusia akan mengetahui bahwa sesuatu yang engkau peringatkan, bisa wajib atau haram, dan jika engkau mendiamkan manusia, sedangkan mereka mengerjakan yang haram, maka nanti orang-orang akan berkata, “Kalau hal ini memang haram, tentu ulama akan memperingatkannya,” atau, “Kalau hal ini wajib tentu ulama akan mengingatkannya.” Oleh karena itu, harus diberi peringatan dan syariat harus disebarluaskan baik bermanfaat (bagi yang mereka) atau tidak.”

 سَيَذَّكَّرُ مَن يَخۡشَىٰ ١٠ وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلۡأَشۡقَى ١١

Orang yang takut akan penuh perhatian. Dan orang yang paling celaka akan menghindari itu.

Setelah diberikan peringatan, maka manusia terbagi menjadi dua; orang yang mau menerima peringatan itu dan orang yang tidak menerima. Orang yang menerima peringatan itu adalah orang yang takut kepada Allah, karena takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan mengetahui bahwa Dia akan memberikan balasan terhadap amalnya membuat seorang hamba berhenti melakukan maksiat dan berusaha menjalankan kebaikan. Sedangkan orang yang tidak menerima peringatan itu adalah orang yang celaka seperti halnya orang kafir sebagaimana diterangkan pada ayat selanjutnya.

Orang Asyqa (orang yang penuh kesukaran, yang nasibnya sial, hancur, dalam kesengsaraan dan penderitaan) tidak akan mengacuhkan peringatan dan tidak juga akan ingat, sehingga akan dibuat lebih menderita lagi.

 ٱلَّذِي يَصۡلَى ٱلنَّارَ ٱلۡكُبۡرَىٰ ١٢ ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحۡيَىٰ ١٣

Ia akan dilemparkan ke dalam api yang besar. Lalu ia di sana tidak akan mati juga tidak akan hidup.

Maksudnya, karena kebodohan dan ketidakpeduliannya pada saat sekarang maka ia membesarkan api yang kecil. Jika ada ‘api besar’, maka api kecil mesti juga ada, dan orang yang sedang mengalami siksaan batin berada di dalam api kecil itu. Dinamakan api besar karena ia tidak berakhir, tidak terukur, abadi, dan bergejolak secara permanen. Maka maksud ayat ini adalah bahwa orang yang sekarang tidak takut melanggar (khasyyah), yang tidak bertasbih dan tidak sedang menempuh jalan hidayah, berarti ia sedang menciptakan, memperbesar, dan menyiapkan api besar. Maksud api besar itu adalah api neraka.

Artinya, hidup dan mati tak pemah pasti dalam neraka. Ia merupakan dimensi tingkat menengah yang samar-samar, padahal bagaimana pun juga manusia menginginkan kepastian dan kejelasan.

 قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ ١٤ وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ ١٥

Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya. Dan ingat akan Nama Tuhannya, lalu salat.

Orang yang sudah mengetahui, yang secara lahiriah sudah membayar zakatnya dengan teratur sehingga tumbuh dalam kesucian, akan menjadi orang yang menang, dan akan menuai panen yang baik yang sebelumnya telah rajin ditanami oleh kesuciannya. Orang yang telah menempuh jalan keluasan dan peningkatan yang terus-menerus adalah orang yang telah menanam hal yang tepat pada saat yang tepat. Falah (keberhasilan) berbicara tentang orang yang mengolah bumi, membajak dan memanennya. Fallah dari akar kata yang sama, berarti ‘petani’. Jika ia tidak mengerjakan ini, maka tidak akan ada yang muncul dari bumi. Ia harus membelah dan mengerjakannya. Orang yang telah menyucikan batinnya yang paling dalam adalah orang yang telah menang. Ia berada di jalan petunjuk. Dalam surah al-Mukminun dari ayat pertama sampai ayat  sembilan, dikemukakan sifat-sifat orang-orang mukmin yang akan meraih falah, yaitu, 1. Khusuk dalam shalat. 2. Menunaikan zakat. 3. Menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia. 4. Tidak menggunakan alat kelaminnya kecuali secara sah. 5. Memelihara amanat dan janji. 6. Memelihara waktu-waktu shalat.

Dengan mengingat Nama Tuhannya—berzikir—ia dapat menghindari penyebab kerugiannya. Dengan demikian ia telah menemukan arah. Dengan mengetahui hal yang tidak benar, ia dapat berjalan ke arah yang benar.

بَلۡ تُؤۡثِرُونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ١٦  وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ ١٧

Tetapi tidak! Engkau lebih suka pada kehidupan dunia ini! Meskipun kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal

تؤثرون : maksudnya adalah mendahulukan dan mementingkan dunia dari pada akhirat.

{بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا}: seakan ALLAH Berfirman “wahai sekalian manusia kalian lebih mengutamakan dunia daripada akhirat maka kalian bekerja untuk dunia dan melupakan akhirat sehingga kalian tidak mengutamakan sedikitpun terhadapnya”[40]

Dalam hadits lain dari Imam al-Baihaqi lagi, diceritakan dari al-Hasan ra, beliau berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ” حب الدنيا رأس كل خطيئة “

Rosulullah Saw, bersabda “Cinta dunia adalah awal dari segala dosa”

Dalam ayat ini manusia diperintah untuk mencari rizki (atau mencari dunia). Sebagaimana yang juga kita ketahui bahwa sahabat yang berjuluk dzunnurain yaitu sayyidina Utsman bin Affan adalah orang kaya namun pada suatu saat di masa paceklik beliau tidak menjual barang dagangan kepada shahabat lain dengan harga yang tinggi karena kelangkaan barang, justru sebaliknya beliau menyedekahkan seluruhnya dengan alasan balasan dari ALLAH Swt, lebih tinggi dari pada tawaran manusia, padahal sebelumnya ada yang menawar dagangan itu dengan harga tinggi kepada beliau. Celaan hanya ditimpakan pada mereka yang mencintai dunia.

Orang yang miskin belum tentu tidak mencintai dunia, dan orang kaya bukan berarti selalu mencintai dunia. Orang yang tidak mencintai dunia adalah mereka akan sadar bahwa segala apa yang ada pada mereka hanyalah titipan bukan milik yang harus ditangisi saat kehilangan, dan tidak pula kikir saat harus mengeluarkan zakat.

إِنَّ هَٰذَا لَفِي ٱلصُّحُفِ ٱلۡأُولَىٰ ١٨  صُحُفِ إِبۡرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ ١٩

Sesungguhnya ini sudah tersebut dalam kitab suci yang terdahulu. Kitab sucinya Ibrahim dan Musa.

Maksudnya adalah bahwa firman ALLAH Swt, dari ayat قد أفلح من تزكى hingga ayat خير وأبقى telah terncantum dalam shuhuf Nabi Ibrahim as, dan Taurot Nabi Musa as.

Dari data diatas bisa diambil kesimpulan bahwa, surat al-A’laa merupakan sebuah surat yang berisi tentang pengagungan dan penyucian kepada Allah SWT, peringatan kepada umat manusia bahwa setiap orang sudah memiliki taqdir masing-masing, dan Allah akan menunjukkan kepada manusia sesuai dengan taqdir yang telah ditetapkan oleh Allah atasnya. Disamping itu, orang-orang yang mengabaikan peringatan Allah yakni berupa al-Qur’an akan dimasukkan kedalam neraka sebagai balasannya dan orang-orang yang menyucikan diri dengan beriman, maka merekalah orang-orang yang beruntung dan akan dimasukkan kedalam surga-Nya.

Surat al-A’laa juga mengandung anjuran untuk melakukan zakat, dzikir, dan shalat.seseorang bisa melakukan ketiga perbuatan tersebut secara berurutan. Yakni ketika pada bulan Ramadhan sudah habis, maka orang muslim diwajibkan membayar zakat fitrah sebelum melakukan dzikir (membaca takbir) dimasjid dan kemudian dilanjutkan dengan melakukan shalat Idul fitri berjamaah. Zuhud juga merupakan perintah yang terdapat didalam surat al-A’laa. Zuhud adalah perbuatan mementingkan kepentingan akhirat daripada kepentingan dunia karena kepentingan akhirat dinilai lebih kekal daripada kepentingan dunia. Urusan dunia hanyalah sementara dan akan rusak.

  • Disampaikan pada Rakor dan Pembinaan Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam Kec. Boyolali pada Hari Jum’at, 3 Juni 2016
  • 13315661_1713691715548314_7774382107872869064_n13322048_1713691868881632_383482544853688436_n

    13310331_1713691658881653_6658871760388046440_n

Tinggalkan komentar